Banyak survei menunjukkan bahwa sumber kegelisahan terbesar para siswa di tingkat Sekolah Menengah Atas adalah masalah pemilihan jurusan di perguruan tinggi. Sebagian besar mereka bingung dan ragu-ragu dalam menentukan pilihan jurusan yang akan diambil.
Drs. H. Imam Pujianto
26 September 2019
Berita Pendidikan
Banyak survei menunjukkan bahwa sumber kegelisahan terbesar para siswa di tingkat Sekolah Menengah Atas adalah masalah pemilihan jurusan di perguruan tinggi. Sebagian besar mereka bingung dan ragu-ragu dalam menentukan pilihan jurusan yang akan diambil. Kegelisahan ini juga hinggap di benak para siswa yang orang tuanya secara finansial tidak bermasalah dan sanggup menggelontorkan dana sebanyak yang dibutuhkan.
Mengapa memilih jurusan bisa memberikan stres yang besar bagi para siswa? Sebab, rupa-rupanya para siswa itu sadar betul kalau jurusan yang akan mereka ambil merupakan penentu masa depannya. Mereka tahu bahwa nama jurusan yang mereka tulis di data pendaftaran masuk perguruan tinggi akan menjadi bagian penentu jalan hidup mereka selanjutnya. Mereka menyadari bahwa memilih jurusan sama dengan memilih kehidupan, bukan hanya sekedar memilih tempat sekolah belaka. Mereka juga sadar benar, bahwa jika merasa salah jurusan setelah kuliah, maka ongkos yang harus dipikulnya sangat besar yaitu, kuliah terhambat, hati yang tidak "enjoy’", biaya yang terbuang sia-sia, dan waktu yang tak bisa digantikan. Syukur kalau masih bisa pindah jurusan, bagaimana kalau pindah jurusan tidak mungkin dilakukan karena sudah sedemikian besar biaya yang dikeluarkan?
Kebingungan dan keragu-raguan saat memilih jurusan pada umumnya bersumber dari tiga sebab. Pertama, siswa kurang mengenal jurusan-jurusan di perguruan tinggi dan prospektusnya. Sebagian besar siswa hanya mengenal sedikit saja jurusan-jurusan yang ada di perguruan tinggi. Mereka hanya tahu jurusan-jurusan yang paling populer saja. Akibatnya, pilihan yang bisa mereka buat pun menjadi sangat terbatas. Maklum, mereka tidak banyak tahu pilihan-pilihan yang tersedia bagi mereka. Kalaupun mereka tahu, mereka pura-pura tidak tahu. Bagi mereka tidak ada jurusan lain yang memberi jaminan masa depan selain kedokteran, teknik elektro, teknik industri, akuntansi, psikologi, manajemen dan sederet jurusan favorit lainnya. Pada saat yang sama, mereka tahu betul bahwa jurusan favorit yang mereka pilih tidak mudah untuk dimasuki karena begitu banyak peminatnya, padahal daya tampungnya terbatas..
Kedua, siswa kurang mengenal diri mereka sendiri. Mereka tidak tahu apa yang cocok bagi mereka. Sebagian hanya ikut-ikutan teman, mengikuti saran orangtua, atau melihat tren, tanpa mereka tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan sendiri. Alhasil mereka tertarik sana-sini tapi malah jadi kebingungan. Mereka tidak tahu mana jurusan-jurusan yang sesuai untuk diri mereka. Di sisi lain, mereka berpacu dengan waktu. Mau tidak mau mereka harus menentukan pilihan. Tak heran jika mereka sangat digelisahkan oleh hal tersebut.
Ketiga, kekhawatiran terhadap kemampuan ekonomi keluarga sebagai penopang biaya. Kondisi ini menghinggapi mereka yang berada pada level ekonomi menengah ke bawah. Tentu saja kondisi ini akan membatasi pilihan karena mereka harus mencari jurusan yang berbiaya “rendah“ dan cepat selesai kuliah plus dapat kerja. Seperti kita ketahui, saat ini relatif tidak ada jurusan dalam kuliah di perguruan tinggi yang berbiaya rendah. Kalaupun di perguruan tinggi disediakan fasilitas bea siswa, jumlahnya terbatas dan dengan seleksi yang ketat pula.
Yang perlu dipertimbangkan
Tahu atau tidak tahu ragam jenis jurusan-jurusan yang ada berikut prospektusnya (peluang karirnya) yaitu paham atau tidak paham dengan dirinya dan pada akhirnya semua orang yang akan kuliah mesti memilih jurusannya. Berikut adalah pertimbangan-pertimbangan yang umumnya diambil ketika memilih jurusan:
1. Teman
Tidak sedikit siswa yang memilih jurusan karena teman baiknya memilih jurusan itu. Kondisi ini biasanya dilatarbelakangi oleh kekhawatiran seseorang ketika kelak harus menjalin pertemanan baru dengan orang-orang yang sama sekali asing. Jadi, mereka merasa lebih aman dan nyaman jika kuliah satu jurusan dengan teman terbaiknya di SMA karena berarti sudah punya teman saat masuk kuliah.
Nah, apakah kamu berpikir seperti itu? Faktanya banyak sekali orang yang berpikir seperti itu. Satu-satunya alasan mereka memilih sebuah jurusan adalah karena teman baiknya memilih jurusan itu. Sebagian berkelit beralasan demi solidaritas dengan teman. Tidak, bukan itu alasan sebenarnya. Yang sesungguhnya, mereka mencari rasa aman. Langkah tersebut mereka lakukan sebagai antisipasi untuk mengurangi stres saat masuk kuliah di tempat baru. Adanya teman di tempat baru akan membuat mereka lebih percaya diri dan kecemasan mereka berkurang.
2. Hanya tahu informasi jurusan tertentu
Sebagian siswa memilih jurusan karena hanya tahu tentang jurusan itu. Mereka mengenal jurusan tersebut dari profesi umum yang sering mereka dengar atau mereka lihat seperti dokter, pengacara, insinyur, diplomat dan beberapa profesi lainnya. Akibatnya, mereka hanya tahu tentang jurusan kedokteran, teknik, hukum, psikologi dan sebagian kecil lainnya.
Tidak lebih dari 20% jurusan atau program studi yang mereka tahu. Lalu bagaimana dengan jurusan atau program studi lainnya? Mengapa mereka tidak tahu? Sederhana saja, karena mereka tidak mau tahu. Maklum, jurusan-jurusan itu bukanlah jurusan-jurusan yang familiar. Dalam bahasa gaul, “bukan jurusan beken”. Oleh karena kurang beken, maka mereka pun tidak tertarik untuk mencari informasi lebih lanjut. Akibatnya, mereka pun tidak tahu apa-apa. Ujung-ujungnya jurusan-jurusan yang kurang beken itu pun terlupakan. Padahal, jurusan-jurusan yang sering dianggap kurang beken justru seringkali merupakan jurusan yang paling prospektif di masa depan.
3. Pertimbangan kemudahan
Alasan lain yang juga banyak dipertimbangkan oleh banyak siswa ketika memilih jurusan adalah kegampangan kuliah. Ukuran yang digunakan adalah pelajaran “berat” saat SMA, seperti matematika, fisika, atau kimia. Mereka mengira bahwa jurusan-jurusan yang tidak ada pelajaran “berat” nya akan menjanjikan kemudahan. Jadilah mereka memilih jurusan-jurusan tanpa pelajaran berat itu. Inilah yang sering dijadikan pertimbangan ketika masuk jurusan-jurusan sosial. “Nggak ada matematikannya!” begitu kata sebagian anak mantap ketika memilih jurusan sastra inggris.
4. Pertimbangan finansial
Kuliah memerlukan biaya. Namanya biaya mempunyai sumber. Umumnya sumber biaya kuliah adalah orangtua. Oleh karena itu, mau tidak mau pilihan jurusan yang diambil disesuaikan dengan kondisi ekonomi orangtua. Banyak siswa yang tidak bisa memilih jurusan yang diincarnya gara-gara secara finansial mereka tidak sanggup. Maklum, sebagian jurusan memerlukan biaya kuliah lebih mahal di bandingkan jurusan lainnya. Oleh sebab itu, banyak siswa yang memilih jurusan-jurusan yang berbiaya murah plus murah juga dalam biaya hidup.
5. Pertimbangan karir dan prospek ekonomi di masa depan
“Kayaknya enak ya jadi pengacara? Bayarannya besar, bisa terkenal dan kalau ada apa-apa urusan di kepolisian akan mudah”. Begitu yang ada di benak seorang siswa. Beberapa lainnya berpikir yang berbeda “Aku milih teknik arsitektur karena bayarannya gede, langka dan gampang dapat kerjanya”. Begitulah yang banyak dilakukan siswa ketika memilih jurusan, yakni mempertimbangkan karir di masa depan. Mereka meraba-raba prospek karir masa depan dari setiap jurusan.
Akibatnya ada jurusan-jurusan yang dianggap basah karena menjanjikan karir yang bagus setelah lulus, tapi ada juga jurusan-jurusan yang dianggap kering karena tidak jelas menjanjikan karir seperti apa usai lulus kuliah. Jurusan-jurusan yang dianggap favorit biasanya adalah jurusan yang dipandang memberikan janji karir menggiurkan, terutama secara finansial. Bahkan ada banyak orang yang sengaja datang ke psikolog bukan untuk tahu potensi terbesarnya, tapi hanya untuk bertanya, “Apa ya jurusan-jurusan yang paling banyak menghasilkan uang setelah kelak lulus?”
6. Pertimbangan cinta
Mirip dengan faktor teman, faktor asmara rupanya kerap menjadi pertimbangan seseorang memilih jurusan. Banyak orang yang memilih sebuah jurusan karena orang yang dicintainya (pacarnya) memilih jurusan itu atau menyarankan jurusan itu, atau jurusan itu ada di Fakultas yang sama dengan pilihan atau tempat kuliah pacar. Padahal, fakta membuktikan kalau pacar saat SMP atau saat SMA sangat jarang yang bisa berlanjut hingga menikah (hehehe, bukan lagi ndoain lho) Sebagian besar putus di tengah jalan. Masalahnya, saat jatuh cinta, mana mereka mau tahu dengan kenyataan itu. Mereka yang sedang kasmaran hanya bisa memikirkan bagaimana caranya agar dekat-dekat dengan pacarnya dan seterusnya, selamanya (so sweet)
7. Pertimbangan orangtua
Pertimbangan berat orangtua memilihkan jurusan untuk anaknya biasanya berkutat di persoalan prospek karir di masa depan. Mereka jeli melihat karir-karir yang sekiranya bakal memberikan jaminan karir bagus untuk anaknya. Jadi, sang anak pun diminta memilih jurusan-jurusan itu. Sebab, bagaimanapun namanya orangtua selalu menginginkan anaknya memiliki masa depan yang cemerlang. Mereka cemas jika anaknya kelak tidak memiliki kehidupan yang mapan. Mereka takut hidup anaknya terlunta-lunta. Mereka ingin anaknya hidup berkecukupan. Para orangtua biasanya berprinsip seperti “Tidak apa-apa kami hidup susah demi anak. Yang penting anak-anak kami kuliah di tempat bagus agar kelak memiliki kehidupan lebih baik ketimbang kami”. Nah, mengerti bukan, mengapa para orangtua ingin agar anaknya mengambil jurusan yang lebih memberikan prospek karir cerah di masa depan?
8. Perlawanan atau kemandirian
Sebagian orang memilih jurusan dengan tujuan untuk melakukan perlawanan terhadap orangtua. Mereka sengaja memilih jurusan yang tidak dikehendaki orangtua dan kuliah di Perguruan Tinggi yang juga tidak diinginkan orangtua. Mereka ingin menunjukkan kemandiriannya. Apabila kemudian orangtua justru mendukung pilihan jurusannya, mereka justru beralih minat ke jurusan lainnya. Mereka berprinsip seperti “Jurusan apapun bagus untukku, asalkan bukan jurusan yang dimaui orangtuaku”.
Jadi, pertimbangan mereka semata-mata agar bertentangan dengan kehendak orangtua. Biasanya, hal tersebut terjadi pada orang-orang yang bermasalah dengan orangtuanya dan menuduh orangtua sebagai sumber dari semua masalahnya. Mereka pun menentang orangtua habis-habisan. Dengan gagah mereka memproklamasikan diri untuk tidak mengikuti apa pun kemauan atau pertimbangan orangtua. Mereka bilang “Ini hidupku. Jangan campuri!”
9. Ketertarikan sesaat
Suatu ketika, serombongan mahasiswa dari jurusan X dari sebuah Universitas datang ke sekolah. Mereka menceritakan berbagai macam tentang jurusan itu, cara masuknya, hal-hal yang menarik dari sana, hingga prospek kerjanya di masa depan. Pada saat kelulusan, puluhan siswa di sekolah itu berbondong-bondong mendaftar di jurusan X. Dari sisi para mahasiswa yang berorasi itu, fenomena berbondong-bondongnya siswa mendaftar merupakan keberhasilan misi. Pertanyaannya: apa yang terjadi dengan para siswa itu? Jawabnya simpel, yaitu mereka tergoda.
Agak sedikit mengejutkan bahwa pertimbangan memilih jurusan yang sedemikian krusial itu ternyata hanya berlandaskan rasa ketergodaan sesaat. Proses psikologis yang mendasarinya tidak jauh berbeda dengan penjual baju yang menggembor-gemborkan kehebatan suatu produk, lantas kamu tertarik dan membelinya. Saat ada penjual lain yang lebih hebat dalam merayu, kamu pun tertarik lagi dan kembali membelinya. Ketika datang penjual lainnya dengan gaya membujuk yang lebih canggih, lagi-lagi kamu membelinya.
Sumber ketergodaan tidak melulu orasi langsung dari seseorang yang berasal dari jurusan. Lebih sering, ketergodaan itu datang dari bacaan-bacaan. Membaca buku X tentang kisah jurusan Y, dia tertarik jurusan Y. Membaca kisah orang berhasil dari jurusan K, dia tertarik jurusan K. Demikian seterusnya. Jurusan yang paling menimbulkan rasa tergoda terdalam adalah jurusan yang akan diambil.
Terkadang, ketergodaan sesaat itu memang tidak membawa efek negatif karena ternyata jurusan itu yang memang paling pas untuk dirinya. Akan tetapi, sering juga kurang pas karena sebenarnya itu bukan jurusan yang sesuai untuknya.
10. Pertimbangan kecocokan
Pertimbangan berikutnya adalah pertimbangan kecocokan pribadi, baik dari sisi minat, nilai-nilai pribadi, bakat, kepribadian maupun latar belakang keluarga. Mula-mula dicari tahu profil pribadinya seperti apa. Lantas, dipilihlah jurusan terbaik berdasarkan karakter pribadinya itu, plus disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan diri yang dikombinasi dengan pertimbangan prospek karir. Bimbingan karir semacam itulah yang biasanya dilakukan oleh para konselor karir.
Kesepuluh hal di atas biasanya menjadi landasan siswa dalam memilih jurusan di perguruan tinggi. Apakah salah? tentu tidak. Menjadi salah jika pertimbangan tersebut tidak dilandasi pemikiran yang matang, sekedar ikut-ikutan tanpa tahu resiko masa depannya. Pengalaman membuktikan bahwa tidak sedikit mereka yang sudah susah payah berjuang mendapatkan satu kursi di perguruan tinggi tetapi pada akhirnya ditinggalkan dengan alasan tidak cocok, di luar perkiraan, salah pilih dan lain-lain. Untuk itu pikir masak-masak dan banyaklah mencari referensi tentang profil jurusan atau prodi yang akan diambil.
Berita Pendidikan